Senin, 30 Juni 2008

Dan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab (Saudara Muhammad bin Abdul Wahhab) pun Dicela

Dan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab (Saudara Muhammad bin Abdul Wahhab) pun Dicela

Setelah membaca beberapa komentar yang ada, ternyata ada sebagian teman Wahhaby (pengunjung blog ini) memberikan komentar berdasarkan jiwa fanatisme yang bersumber dari hawa nafsunya terhadap ajaran Muhamad bin Abdul Wahab, dan tanpa didasari oleh kajian ilmiah terhadap sejarah hidup Muhammad bin Abdul Wahab bersama saudaranya, Sulaiman bin Abdul Wahhab, lantas menatakan bahwa di akhir hayat Sulaiman bin Abdul Wahab, ia akhirnya mengikuti dan membenarkan ajaran adiknya. Pernyataan ini sangat lucu dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.

Jika kita menengok di alam realitanya maka akan kita dapati bahwa, betapa kaum Wahaby Arab Saudi sangat muak dengan orang yang bernama Sulaiman bin Abdul Wahab al-Hanbali, saudara kandung Muhammad bin Abdul Wahab. Para ulama Wahhaby sepakat bahwa kitab karyanya (risalah) yang ditulis untuk menasehati adiknya itu diharamkan untuk dicetak dan dibaca. Buku itu digolongkan sebagai buku sesat, karena ia telah mengkritisi akidah adiknya yang dianggapnya telah keluar dari kesepakatan kaum muslimin. Orang-orang Indonesia yang pernah belajar di Arab Saudi, terkhusus yang mengikuti ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab (Wahhaby) akan tahu betapa bencinya para ulama Wahaby terhadap pribadi Sulaiman bin Abdul Wahhab.

Dalam buku yang berjudul Kutub Hadzara al-Ulama’ minha (كتب حذر العلماء منها)

yang dikarang oleh seorang Wahaby kontemporer yang bernama Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Aali Salman (cetakan Dar as-Shomi’i, Riyadh, Cet: I, Thn: 1415 H) diakui bahwa buku itu dapat menggoyahkan ajaran Wahabisme di wilayah Jazirah Arabiyah. Penulis menyatakan bahwa: “Kitab ini –yaitu kitab “as-Showa’iq al-Ilahiyah fi Mazhab al-Wahhabiyah” karya Syeikh Sulaiman- memiliki dampak yang sangat negatif sekali. Dikarenakannya (kitab tadi, red) penduduk “Huraimala’” menarik diri (dari ajaran Wahabisme, red). Dan bukan hanya pada batas (wilayah) itu saja. Akan tetapi pengaruh kitab itu sampai pada wilayah “Uyainah”. Hingga orang yang mengaku memiliki ilmu pun di wilayah tadi (Uyainah) juga dilanda rasa bimbang dan ragu terhadap kebenaran dakwah ini (Wahhabiyah, red)” (Lihat; 1/271).

Ternyata buku karya Sulaiman bin Abdul Wahab yang jika dilihat dari kuantitas dan kapasitas lembarannya tidak begitu banyak dan tebal, namun berhasil menggoyah ajaran dakwah adiknya, Muhammad bin Abdul Wahhab yang memiliki tulisan yang banyak itu. Buku yang layak dimiliki oleh setiap orang yang mencari kebenaran, pembasmi ajaran Wahhabisme. Buku ini dilarang di wilayah Saudi karena akan menggoyahkan status quo para ulama Wahabi (muthowwi’) yang sok benar dan sok monoteis (ahli tauhid). Tetapi kebenaran tidak dapat ditutup-tutupi. Walau buku itu dilarang di Saudi Arabia, namun masih bisa kita dapati di beberapa negara-negara Timur Tengah lainnya.

Ini juga sebagai bukti kepada kita bahwa, banyaknya buku yang ditulis oleh seseorang bukan lantas membuktikan kebenaran ajarannya dan kehebatan orangnya. Buku kecil yang berlandaskan ajaran yang benar dan metode yang bagus sesuai dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah dan Salaf Saleh akan mampu menghalau buku yang berjilid-jilid tapi dibangun di atas kesesatan, seperti karya para ulama Wahhaby. Apa yang mereka tulisa dalam kitab yang berjilid-jilid itu adalah pengejawantahan dari apa yang diyakini dan diungkapkan melalui mulut mereka. Jadi kita tidak boleh silau hanya dengan sisi zahirnya saja. Bukankah Allah SWT pernah berfirman: “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.” (QS al-Baqarah: 204)

Dari sini jelas sekali bahwa, ternyata buku itu ditulis oleh Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab untuk menjawab dakwah ‘aliran dan sekte sesat’ (versi sang kakak) yang dikarang oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adiknya. Dan tidak ada bukti konkrit dan otentik –baik sejarah yang tertulis atau karya lain Syeikh Sulaiman- yang menunjukan bahwa Sulaiman bin Abdul Wahab di akhir hayatnya mengamini dan menyokong dakwah sang adik. Lantas, masihkah kaum Wahhaby memaksa diri untuk menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab di akhir hayatnya menyokong dakwah adiknya? Dan terbukti, bisa ditanyakan kepada pelajar Wahaby Indonesia yang belajar di Saudi Arabia -khususnya- tentang bagaimana pendapat para guru mereka tentang pribadi Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Mereka akan mendengar cacian dan makian yang diarahkan kepada pribadi Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab yang bukan hanya tidak mengimani ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab, bahkan mengkritisinya dengan argument yang kuat, tegas dan ilmiah. Jika orang besar dan ulama mazhab Hanbali (Ahlusunah) seperti Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab saja dicaci-maki dan dinyatakan sesat, apalagi orang seperti Sastro ini.

Tidak ada komentar: