Senin, 30 Juni 2008

Kerancuan Konsep Tauhid Versi Wahaby (Bag II)

Kerancuan Konsep Tauhid Versi Wahaby

(Tauhid dalam Pandangan al-Quran)

Bagian Kedua

Salah satu kerancuan yang sangat mendasar dalam memahami konsep tauhid dan syirik versi Wahaby adalah kesalahpahaman mereka dalam memaknai konsep tauhid dalam peribadatan (tauhid fil ibadah). Dalam kitab-kitab Mu’jam (katalog bahasa Arab) disebutkan bahwa kata “ibadah” dari sisi bahasa memiliki arti “merendah diri” (khudhu’) ataupun “menghinakan diri” (tadzallul). Hal inilah yang disebutkan oleh Raghib al-Isbahani dan Ibnu Mandhur dalam kitab karya-karya mereka. Jadi, secara bahasa dan arti umum ibadah berartikan menampakkan perendahan diri dan ketaatan. Namun jika dilihat dari sisi istilah yang dipakai dalam akidah Islam dan makna khusus maka ibadah tidak dapat disamaartikan hanya dengan perendahan diri dan ketaatan. Hal itu dikarenakan banyak hal yang dalam kehidupan sehari-hari kita dan termasuk perintah agama yang terdapat teks agama Islam (al-Quran dan Hadis) pun akan masuk kategori ibadah kepada selain Allah; sebagai contoh:

1- Ketundukan dan kepatuhan seorang anak terhadap orang tuanya maka akan tergolong ibadah kepada keduanya:

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil" (QS al-Isra’: 24).

2- Sujud para Malaikat kepada nabi Adam maka akan masuk kategori peribadatan Malaikat terhadap Adam:

“Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah[36] kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.(QS al-Baqarah: 34)

3- Sujud nabi Ya’qub beserta anggota keluarganya di hadapan nabi Yusuf maka akan tergolong ibadah terhadap Yusuf:

“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf”. (QS Yusuf: 100)

4- Merendahkan diri seorang mukmin terhadap saudaranya sesama mukmin juga akan tergolong beribadah kepadanya:

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap merendah (adzillah) terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui”.(QS al-Maidah: 54)

Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang tidak kita sebutkan di sini untuk mempersingkat tulisan. Sebagian kehidupan kita sehari-hari pun akan dapat digolongkan beribadah kepada selain Allah swt jika ternyata ibadah diartikan sama dengan hanya sekedar merendah diri, tunduk dan taat kepada selain Allah. Kerendahan diri dan Ketaatan seorang murid terhadap guru, kopral terhadap jendral, bawahan terhadap atasan dan sebagainya maka semua akan masuk kategori ibadah. Ini semua jika peribadatan diartikan secara umum seperti hal tersebut. Atas dasar itu, maka harus dibedakan antara definisi dan pengertian umum (dari sisi bahasa) dan pengertian khusus (dari sisi istilah) dari ibadah. Letak kerancuan akidah dan konsep tauhid dan syirik versi Wahabisme terdapat pada pencampuradukkan antara makna umum dan makna khusus dari arti ibadah tadi.

Ada tiga poin yang ketiganya dapat dijadikan tolok ukur dan pembatas konsep ibadah dalam istilah Islam yang meniscayakan pelakunya dapat divonis sebagai seorang politeis (syirik) atau monoteis (tauhid):

Pertama: Meyakini akan sifat ketuhanan (uluhiyah) bagi yang diibadahi (obyek ibadah).

Keyakinan akan ketuhanan sesuatu terkadang secara riil bahwa sesuatu tersebut memang Tuhan alam semesta, akan tetapi juga terkadang obyek yang diyakininya ternyata bukanlah obyek hakiki Tuhan, melainkan tuhan palsu. Jadi, keyakinan seseorang terhadap ketuhanan sebuah obyek terkadang benar dan sesuai realita, terkadang pula merupakan penipuan belaka. Allah swt adalah obyek riil Tuhan alam semesta. Adapun selainnya adalah contoh-contoh konkrit tuhan palsu yang dituhankan oleh manusia.

Adapun bukti-bukti ayat al-Quran yang menguatkan poin tersebut, sebagai contoh:

1- “Ataukah mereka mempunyai tuhan selain Allah. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS at-Thuur: 43)

Dalam ayat ini jelas sekali bahwa Allah swt menjadikan sifat ketuhanan sebagai tolok ukur penyekutuan (syirik) dalam konsep bertuhan.

2- “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri”. (QS ash-Shofaat: 35)

Kaum musyrikin menolak ungkapan tersebut dikarenakan mereka telah meyakini akan kepemilikikan obyek yang mereka jedikan sekutu Allah itu juga memiliki sifat ketuhanan. Dan menyembahnya karena khayalan mereka yang menyatakan bahwa obyek tadi telah memiliki sifat ketuhanan. Atas dasar itu, Allah swt berfirman dalam surat al-Ghafir (al-Mukmin) ayat 12 dengan firman-Nya: “Yang demikian itu adalah Karena kamu kafir apabila Allah saja disembah. dan kamu percaya apabila Allah dipersekutukan”.

3- “Dan apabila Hanya nama Allah saja disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati”.(QS az-Zumar: 45)

Ayat-ayat semacam ini sangat banyak sekali dalam al-Quran dimana kaum musyrikin enggan jika tuhan-tuhan mereka tidak disebut-sebut.

4- “(yaitu) orang-orang yang menganggap adanya Tuhan yang lain di samping Allah; Maka mereka kelak akan mengetahui (akibat-akibatnya)”.(QS al-Hijr: 96)

Ayat ini jelas bahwa tolok ukur kesyirikan dalam perspektif al-Quran. Yaitu dengan meyakini ketuhanan obyek lain selain Allah.

Kedua: Meyakini akan sifat pengaturan dan pemeliharaan (rububiyah) bagi obyek yang diibadahi.

Konsekuensi dari keyakinan pertama tadi adalah munculnya keyakinan kedua ini, Tuhan/tuhan sebagai pengatur dan pemelihara semesta alam sebagaimana yang disinggung dalam ayat-ayat semacam:

1- “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”.(QS al-Baqarah: 21)

2- “(yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah Dia; dan dia adalah pemelihara segala sesuatu”.(QS al-An’am: 102)

Ketiga: Meyakini akan independensi dalam pelaksanaan segala prilaku yang dikerjakan oleh obyek yang diibadahi. Independensi dalam arti tanpa perlu bantuan dari selainnya. Hanya Allah-lah yang memiliki independensi dalam segala sesuatunya. Hal ini sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-ayat seperti:

1- “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”. (QS al-Baqarah: 255)

2- “Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan yang hidup kekal lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya). dan Sesungguhnya Telah merugilah orang yang melakukan kezaliman”. (QS Thaha: 111)

Indepependensi dan tanpa perlu bantuan dari selainnya ini terkadang berupa keyakinan bahwa obyek yang dituhankan tersebut memiliki eksistensi (wujud) dan esensi (dzat) independen. Seperti keyakinan kaum musyrikin yang meyakini akan keindependenan tuhannya para tuhan (maha tuhan). Atau terkadang pula berupa keyakinan bahwa obyek yang dituhankan tersebut tidak memiliki independensi dalam eksistensi dan esensinya. Akan tetapi ia memiliki otoritas seperti yang dimiliki oleh tuhan (maha tuhan) seperti: pengaturan bagian dari alam, pengampunan dosa, pemberian berkah, penyembuhan penyakit dsb. Akan tetapi keyakinan itu tetap bertumpu bahwa mereka semua (tuhan-tuhan kecil) melakukan hal itupun berlandaskan atas keindependenan pula. Oleh karenanya obyek-obyek itu tetap mereka yakini sebagai tuhan, walaupun dengan skup yang lebih kecil. Otoritas yang dimiliki oleh tuhan-tuhan kecil tadi didapat dari pelimpahan otoritas secara utuh (tafwidh) dari obyek yang disebut ‘maha tuhan’.

Tiga hal di atas tadilah yang menjadi tolok ukur dan batasan seseorang dapat divonis sebagai monoteis ataupun polyteis. Jika ada seseorang menunduk, merendahkan diri bahkan bersujud –sekalipun- di hadapan sesuatu (obyek tertentu) namun jika tidak dibarengi dengan ketiga syarat di atas tadi –keyakinan akan ketuhanan, kepengaturan dan keindependenan obyek yang disujudi- maka ia tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku syirik, sebagaimana sujudnya nabi Ya’qub beserta keluarganya di hadapan dan untuk nabi Yusuf.

Dari sini jelas sekali bahwa sewaktu kaum muslimin (ahli tauhid) melakukan penghormatan terhadap obyek-obyek tertentu seperti bersimpuh di hadapan makam mulia Rasul sebagai rasa cinta dan penghormatan, mencium mimbar Rasul untuk bertabarruk (mencari berkah), bertawassul kepada Allah melalui para nabi, rasul dan kekasih (wali) Allah dst, sementara di hati mereka tetap meyakini hanya Allah swt yang memiliki sifat ketuhanan dan tidak mengangap obyek-obyek yang dihormatinya tersebut memiliki kekhususan tiga hal di atas tadi –meyakini ketuhanan, pengaturan dan independensi obyek- maka ia tetap tergolong muslim dan sama sekali tidak dapat digolongkan sebagai pelaku syirik.

Bersambung...

Tidak ada komentar: