Senin, 30 Juni 2008

Kerancuan Konsep Tauhid Versi Wahaby (Bag III)

Kerancuan Konsep Tauhid Versi Wahaby

(Tauhid dalam Pandangan al-Quran)

Bagian Ketiga

Sebagaimana pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa tolok ukur dan garis pembatas antara konsep tauhid dan syirik terletak pada tiga hal yang masing-masing memiliki dalil ayat al-Quran:

A- Meyakini akan sifat ketuhanan (uluhiyah) bagi yang diibadahi (obyek ibadah).

B- Meyakini akan sifat pengaturan dan pemeliharaan (rububiyah) bagi obyek yang diibadahi.

C- Meyakini akan independensi dalam pelaksanaan segala prilaku yang dikerjakan oleh obyek yang diibadahi.

Dari ketiga tadi dapat diambil suatu kesimpulan bahwa tolok ukur dan pembatas antara konsep tauhid dan syirik bukan terletak dari sisi zahir belaka, namun lebih pada sisi keyakinan yang berkaitan dengan sisi batin seseorang.

Ayat-ayat yang berkaitan dengan poin pertama sangatlah banyak jumlahnya sehingga tidak perlu lagi untuk diperjelas satu persatu dalam tulisan ringkas ini, untuk mempersingkat tulisan.

Adapun yang berkaitan dengan poin kedua, ada dua ayat yang akan kita jadikan obyek penjelasan kita;

- Ayat Pertama yang terletak dalam surat al-Baqarah ayat 21, dimana Allah telah berfirman: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”.

- Ayat Kedua yang terletak dalam surat al-An’am ayat 102, dimana Allah telah berfirman: “(yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah Dia; dan dia adalah pemelihara segala sesuatu”.

Jika kita teliti dari dua ayat di atas tadi maka akan kita dapati bahwa kata “Tuhanmu” dalam ayat pertama (QS al-Baqarah: 21) dan kata “Tuhanmu yang telah menciptakanmu” pada ayat kedua (QS al-An’am: 102) membuktikan bahwa penyebab pengkategorian suatu perbuatan sebagai prilaku syirik adalah dengan meyakini obyek ibadah sebagai pencipta yang sekaligus sebagai pemelihara dan pengatur alam semesta. Jadi hanya sekedar menampakkan tunduk, patuh dan hormat di hadapan sesuatu tanpa adanya keyakinan akan sifat pencipta (khaliq), pengatur dan pemelihara (rab) pada susatu tersebut niscaya tidak tergolong syirik. Atas dasar itu, Allah swt dalam al-Quran telah menafikan sifat pencipta dan pengatur juga pemelihara atas segala sesuatu yang ada di alam semesta ini dengan firman-Nya: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan yang Maha Pemurah selaku seorang hamba”. (QS Maryam: 93)

Keyakinan akan kepemilikan suatu obyek akan sifat pemelihara dan pengatur meniscayakan keyakinan bahwa ia (obyek tadi) memiliki otoritas dalam hal yang berkaitan dengan penghambaan. Peniscayaan itu bisa jadi berbentuk otoritas penuh yang mencakup segala aspek kehidupan hamba sebagaimana kepemilikan sifat tadi oleh Allah swt berkaitan dengan semua perkara hamba-hamba-Nya, sebagai halnya keyakinan kaum monoteis. Ataupun otoritas yang hanya berkaitan dengan hal-hal tertentu saja, seperti berhubungan dengan pemberian syafa’at, ampunan, hajat, menjauhkan dari bencana sebagaimana yang diyakini oleh kaum politeis berkaitan dengan tuhan-tuhan palsu mereka. Atas dasar itu maka Allah swt menafikan kemampuan tuhan-tuhan tadi dengan menyatakan bahwa mereka tidak memiliki manfaat apapun dengan firman-Nya: “Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah". Katakanlah: "Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?"”. (QS ar-Ra’d: 16) Dalam ayat lain Allah swt berfirman: “Katakanlah: "Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya”. (QS al-Isra’: 56) Sebagaimana firman Alla swt dalam ayat 87 dari surat Maryam yang berbunyi: “Mereka tidak berhak mendapat syafa'at kecuali orang yang Telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan yang Maha Pemurah”. Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menafikan secara tuntas semua perkara yang hanya dimiliki oleh Allah swt secara independen dari tuhan-tuhan palsu kaum politeis tadi.

Adapun yang berkaitan dengan poin ketiga bahwa Tuhan harus bersifat independen baik dari sisi esensi dzat maupun perbuatan-Nya. Sebagaimana yang telah disinggung dalam pembahasan lalu, ayat yang dapat dijadikan contoh adalah surat al-Baqarah ayat 255 (Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus) dan surat Thaha ayat 111 (Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan yang hidup kekal lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya)) yang keduanya membuktikan bahwa Ia adalah Dzat Yang berdiri sendiri (independen) dan tidak memiliki aroma fakir sedikitpun sehingga meniscayakan-Nya butuh terhadap sesuatu yang lain. Sebaliknya, segala sesuatu selain-Nya membutuhkan diri-Nya dan fakir di hadapan-Nya. Jika ada seorang pribadi yang meyakini bahwa ada sesuatu lain selain Allah swt yang memiliki sifat pencipta, pengatur dan pemelihara maka dapat dipastikan bahwa ia tergolong musyrik (penyekutu Allah).

Begitu pula dengan seseorang yang meyakini bahwa sesuatu selain Allah tadi memiliki kemampuan memberi syafa’at, pengampunan dosa, memenuhi kebutuhan (hajat) dan kemampuan lain secara independent, dalam arti tanpa bantuan siapapun termasuk Allah, maka ia tergolong pelaku syirik.

Atau siapapun yang meyakini bahwa Allah swt telah pelimpahan otoritas secara penuh (tafwidh) kepada pribadi atau sesuatu sehingga mampu melakukan hal-hal yang berkaitan dengan otoritas Tuhan tanpa perlu lagi kepada-Nya, inipun dapat digolongkan kepada keyakinan musyrik. Dalam masalah pelimpahan secara penuh yang diistilahkan dengan “at-Tafwidh” tadi memiliki pembahasan yang sangat luas. Ada beberapa bentuk pelimpahan yang dapat secara ringkas kita singgung di sini:

1- Pelimpahan otoritas yang Allah swt berikan kepada para makhluk-Nya yang terbaik, baik dari golongan malaikat, para nabi/rasul juga para kekasih (wali) Allah. Pelimpahan semacam ini dapat diistilahkan dengan “at-Tafwidh at-Takwini” (pelimpahan dalam urusan tata cipta). Atas dasar ini akhirnya manusia-manusia sesat menganggap bahwa Isa (versi Kristen) atau Uzair (versi Yahudi) adalah anak Allah swt.

2- Pelimpahan otoritas yang Allah swt berikan kepada hamba-hamba-Nya dalam masalah penentuan perundang-undangan, hukum syariat, pengampunan dosa, pemberian syafaat ataupun pengkabulan hajat. Pelimpahan semacam ini dapat disitilahkan dengan “at-Tafwidh at-Tasyri’i” (pelimpahan dalam urusan tata tinta). Atas dasar ini Allah swt dalam al-Quran menyatakan bahwa kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) telah menuhankan para rohaniawan mereka:

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS at-Taubah: 31)

Tentu maksud dari ayat di atas tadi bukanlah lantas mereka menyembah dalam arti beribadah untuk mereka. Namun menjadikan mereka tuhan dalam arti para Ahli Kitab itu mematuhi (taklid) terhadap ajaran-ajaran rohaniawan dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta tanpa melihat dasar-dasar kebenarannya, biarpun para rohaniawan dan rahib-rahib itu menyuruh berbuat maksiat, menghalalkan apa yang diharamkan atau mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah sekalipun. Ini adalah bentuk dari penuhanan para rohaniawan dan para rahib dalam masalah penentuan hukum dan perundang-undangan, termasuk dalam penebusan dosa.

Dari apa yang telah kita bahas dalam masalah ini, jelas sekali bahwa dalam membedakan antara konsep tauhid dan syirik dalam prilaku masyarakat kita tidak boleh hanya melihat sisi zahir saja. Harus dibedakan antara perendahan diri, menghinakan diri dan ketaatan yang umum dilakukan oleh masyarakat (‘urf) –seperti perendahan diri (baca: penyembahan) para abdi dalem keraton Solo/Yogya terhadap sang raja- dengan perendahan diri yang masuk kategori ibadah. Sebagaimana harus dibedakan antara sujud para malaikat di hadapan dan untuk nabi Adam, atau sujud nabi Yakqub beserta keluarganya di hadapan dan untuk nabi Yusuf dengan sujudnya para kaum musyrikin di hadapan berhala-berhala (baca: tuhan-tuhan) selain Allah swt. Perbedaan mendasar dari dua bentuk perendahan diri, menghinakan dan ketaatan di atas tadi adalah berkaitan dengan keyakinan akan konsep ketuhanan (uluhiyah) dan pengaturan/pemeliharaan (rububiyah).

Jelas bahwa kaum musyrikin sewaktu merendahkan dan menghinakan diri berupa sujud di hadapan berhala mereka, hati mereka meyakini adanya sifat ketuhanan pada berhala tadi, baik sifat itu ada secara penuh pada sang berhala ataupun sebagiannya saja. Atas dasar itu Allah swt berfirman:

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah”. (QS al-Baqarah: 165)

Sewaktu mereka meyakini bahwa tuhan bikinan mereka itu memiliki sifat-sifat ketuhanan maka akhirnya mereka pun mencintainya persis seperti kecintaan mereka terhadap Allah swt. Dengan kata lain, mereka telah menyamakan posisi Allah dengan tuhan-tuhan palsu mereka. Allah swt berfirman:

Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata. Karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam". (QS as-Syu’ara’: 97-98)

Maksud dari menyamakan di dalam ayat tadi adalah menyamakan dalam urusan yang berkaitan dengan Allah swt, baik secara keseluruhan maupun sebagiannya.

Wallahu A’lam

Sastro Hadi Suripto

Tidak ada komentar: