Senin, 30 Juni 2008

Mengambil Berkah (Tabarruk) Merupakan Perbuatan Bid’ah atau Syirik? (Bag-10)

Mengambil Berkah (Tabarruk) Merupakan Perbuatan Bid’ah atau Syirik? (Bag-10)

(Menjawab Isu-Isu Sekte Wahaby tentang Legalitas Tabarruk)

Setelah kita lalui beberapa urutan kajian tentang argumentasi legalitas mengambil berkah (tabarruk) dari pribadi atau benda-benda peninggalan Nabi atau orang-orang saleh –baik semasa hidup mereka, ataupun sepeninggal mereka- yang berlandaskan pada argument ayat-ayat al-Quran, prilaku dan ketetapan (taqrir) Nabi, riwayat-riwayat para sahabat mulia Nabi (Salaf Saleh) juga ungkapan-ungkapan tokoh-tokoh Ahlussunnah wal Jamaah yang semuanya membuktikan akan legalitas tabarruk, ini semua menjadi bukti akan kebenaran ajaran dan kesepakatan ulama Ahlussunnah tentang hal ini, sesuai dengan dalil-dalil yang kuat. Dan sebagai bukti pula bahwa tuduhan sekte Wahaby terhadap kaum muslimin yang menyatakan bahwa tabarruk adalah bid’ah atau bahkan syirik adalah tuduhan yang tidak beralasan, tidak berdasar dan memiliki pondasi lemah yang mudah digoyahkan. Selain itu, menjadi bukti pula bahwa, ternyata apa yang diyakini sekte Wahaby selama ini perihal tabarruk tidak sesuai dengan ajaran Salaf Saleh yang konon ajaran dan metode (manhaj)-nya hendak dihidupkan dan disebarkan oleh sekte Wahaby (Salafy gadungan, bahkan mengaku-ngaku Ahlusunnah) pun ternyata tidak terbukti, bahkan keyakinan sekte ini justru bertentangan dengan ajaran dan metode Salaf Saleh. Jadi kata “Salafy” dan “Ahlus-sunnah” yang selalu hendak diambil secara paksa dan arogan (rampok) dari kaum muslimin hendaknya ditanggalkan dan diberikan kepada pemilik aslinya. Justru nama “Khalafy” dan “Ahlut-Takfir” lebih layak bagi sekte itu jika melihat dari fenomena cara berfikir dan bertindak mereka.

Walaupun runtutan artikel tabarruk sebelumnya sudah mampu menjawab beberapa problem yang dilontarkan oleh sekte Wahabi, namun kali ini, kita akan konsentrasikan secara khusus dalam menjawab beberapa isu pengikut sekte Wahaby yang digunakan untuk pengkafiran (menuduh kaum muslim syirik dan bid’ah). Untuk mempersingkat, kita akan ambil beberapa problem yang sering mereka ungkapkan dengan menengok dari karya salah seorang mubaligh Wahaby yang bernama Ali bin Nafi’ al-‘Ilyani dalam bukunya yang berjudul: “At-Tabarruk Al-Masyru’” (Tabarruk legal). Kita akan lihat, apakah dalil mereka sesuai dengan pemahaman yang benar berkaitan dengan ayat dan riwayat, ataukah seperti argumen kaum Khawarij yang “menerapkan ayat dan riwayat untuk kaum kafir dan musyrik kepada kaum muslimin”. Untuk mempermudah, kita akan memakai cara tanya-jawab antara Sekte Wahaby yang pada hakekatnya adalah Jamaah Takfiri (disingkat: JATAK) yang pada posisi pengisu, dan Ahlusunnah wal Jamaah (disingkat: ASWAJA) pada posisi menjawab/menyangkal isu Jamaah Takfiri.

JA-TAK mengisukan:

Kondisi kaum Jahiliyah dahulu, sebagaimana yang dimiliki kebanyakan manusia. Mereka meinginkan mendapat tambahan harta dan anggota kabilah, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan keduniawian. Dengan begitu mereka meminta berkah (tambahan) itu melalui berhala-berhala yang mereka sembah dengan mengharap tambahan kebaikan yang berlebih. Mereka meyakini bahwa patung-patung itu adalah pemberi berkah. Anehnya, walau orang yang meyakini bahwa berkah itu datangnya dari Allah pun meyakini bahwa patung-patung itu adalah sarana yang mampu menentramkan dan penghubung antara mereka dengan Allah. Untuk merealisasikan yang mereka inginkan, akhirnya mereka mereka mengambil berhala itu sebagai sarana. Hal ini sesuai dengan ayat: “...kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah denga sedekat-dekatnya...” (QS az-Zumar: 3) dari sini jelas sekali bahwa tabarruk (mengharap berkah) selain dari Allah adalah perwujudan dari ajaran kaum musyrik zaman Jahiliyah. (Lihat: kitab Tabarruk Masyru’ halaman 53)

AS-WA-JA menjawab:

Selain telah kita singgung –dalam kajian terdahulu- bahwa beberapa nabi Allah yang mengajak umat manusia kepada tauhid ternyata juga melakukan pengambilan berkah. Begitu juga ternyata Nabi kita yang sebagai penghulu para nabi dan rasul bahkan paling mulianya makhluk Allah yang pernah Ia ciptakan pun telah membiarkan orang mengambil berkah darinya. Jika mencari berkah (tabarruk) adalah haram karena syirik maka tentunya para nabi di setiap zaman adalah orang pertama yang menjauhinya, bahkan melarang orang lain. Namun kenapa mereka melakukannya?

Lagi pula, apa yang diisukan oleh kelompok Wahaby di atas tadi, selain tidak sesuai dengan al-Quran, Hadis dan bukti sejarah dari Salaf Saleh hingga para imam mazhab, juga jauh dari logika pemahaman ayat itu (az-Zumar:3) sendiri. Kenapa?

- Pertama: Semua tahu bahwa setiap prilaku pertama kali dinilai oleh Islam dilihat dari niatnya. Dengan kata lain, hal primer dalam menentukan esensi baik-buruk sebuah perbuatan kembali kepada niat. Bukankah Rasul pernah menyatakan: “Setiap perbuatan kembali kepada niatnya...” (Hadis Muttafaq Alaihi). Tentu, niat seorang musyrik dengan niat seorang muslim akan berbeda dan tidak bisa disamakan.

- Kedua: Dalam ayat itu disebutkan: “kami tidak menyembah mereka melainkan” di situ terdapat kata “Menyembah” yang meniscayakan bahwa kaum musyrik Jahiliyah meyakini sifat ketuhanan buat obyek (patung-patung) yang dimintai berkah, selain Allah. Mereka telah menyembah patung itu dan menyekutukan Allah dala penyembahan. Dan essensi penyembahan adalah meyakini ‘sifat ketuhanan’ yang disembahnya. Tanpa keyakinan itu mustahil mereka menyebut kata ‘sembah’. Jelas, sebagaimana yang sudah pernah kita singung pada tulisan terdahulu bahwa, sekedar sujud di depan sesuatu tidak masuk kategori sembah. Bukankah Allah memerintahkan para malaikat dan jin untuk sujud di hadapan nabi Adam? Bukankah nabi Yakqub beserta anak-anaknya sujud di depan nabi Yusuf? Ini yang membedakan antara musyrik dengan kaum muslimin, dalam pengambilan berkah. Dan ini adalah hal yang bersifat esensial sekali. Kaum muslimin selain tidak meyakini sifat ketuhanan selain Allah sehingga memiliki kelayakan untuk disembah, juga meyakini bahwa semua yang ada di semesta ini berasal dari kehendak Ilahi, karena Ia Maha kuasa dan sempurna.

- Ketiga: Ayat dari surat az-Zumar tadi tidak menyatakan; “kami tidak mengambil berkah mereka melainkan...” tapi dikatakan; “kami tidak menyembah mereka melainkan...” sebagai penguat dari alasan kedua tadi. Dikarenakan kaum musyrik zaman Jahiliyah tidak meyakini adanya hari akhir –seperti disebutkan dalam akhir-akhir surat Yasin- maka mereka akhirnya meyakini bahwa patung-patung itu memiliki kekuatan secara independent dari Allah sehingga di benak mereka meyakini bahwa berhala itu mampu menjauhkan segala mara bahaya dari mereka dan memberikan manfaat kepada mereka. Tentu keyakinan kaum muslimin berbeda dengan apa yang mereka yakini. Tentu kaum muslimin tidak berpikir semacam itu. Kaum muslim meyakini bahwa segala yang ada di alam semesta ini turun dari izin Allah, termasuk pemberian berkah. Karena Allah sumber segala yang ada di alam semesta ini.

JA-TAK mengisukan:

Legalitas tabarruk dari tempat-tempat dan benda-benda yang dianggap mulia bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan dalam Sahih Bukhari yang dinyatakan oleh ‘Atban bin Malik yang termasuk sahabat Rasul dari kelompok Anshar yang turut dalam perang Badar. Ketika dia mendatangi Rasulullah lantas berkata: “Wahai Rasulullah, telah lemah pengelihatanku, padahal aku mengimami shalat pada kaumku. Jika turun hujan maka banjir menggenangi lembah yang menghubungkanku dengan mereka sehingga aku tidak dapat mendatangi masjid mereka dan shalat bersama mereka Aku ingin engkau datang ke rumahku dan shalat di rumahku sehingga aku menjadikannya (tempat itu) sebagai mushalla”. Mendengar hal itu Rasul bersabda: “Aku akan melakukannya, insya-Allah”. Kemudian berkata ‘Atban: “Keesokan harinya, Rasul bersama Abu Bakar datang ketika menjelang tengah hari. Lantas Rasul meminta izin masuk, dan diberi izin. Beliau tidak duduk sewaktu memasuki rumah dan langsung menannyakan: “Dimana engkau menginginkan aku melakukan shalat?”. Dijawab: “Aku mengisyaratkan pada salah satu sudut rumah”. Lantas Rasulullah berdiri dan bertakbir. Kamipun mengikutinya berdiri dan mengambil shaf. Beliau melakukan shalat dua rakaat dan kemudian mengakhirinya dengan salam” (Shahih Bukhari, jilid 1 halaman 170/175 atau Shahih Musim jilid 1 halaman 445/61/62). Hadis di atas tidak membuktikan bahwa sahabat ‘Atban hendak mengambil berkah dari tempat shalat Rasul. Namun ia ingin menetapkan anjuran Rasul untuk selalu melakukan shalat jamaah di rumahnya ketika tidak dapat mendatangi masjid karena lembah digenangi air. Atas dasar itu ia menghendaki Rasul membuka (meresmikan) masjid di rumahnya. Dan oleh karenanya, Bukhari memberikan bab pada kitabnya dengan; “Bab Masjid di Rumah” (Bab al-Masajid Fil Buyuut). Sebagaimana Barra’ bin ‘Azib melakukan shalat di masjid yang berada di dalam rumahnya secara berjamaah. Ini termasuk hukum fikih beliau. Dari semua itu memberikan pemahaman bahwa Rasul mengajarkan (sunnah) shalat berjamaah di rumah dikala memiliki hajat. Sebagaimana Rasul tidak pernah menegur sahabat Barra’ bin ‘Azib sewaktu melakukan shalat berjamaah di masjid rumahnya. Padahal itu semua terjadi pada zaman pensyariatan (tasyri’) Islam. Dan mungkin saja maksud dari sahabat ‘Atban tadi adalah untuk mengetahui dengan pasti arah kiblat, karena Rasulullah tidak mungkin menunjukkan arah yang salah. (Lihat: Tabarruk Masyru’ halaman 68-69)

AS-WA-JA menjawab:

Dalam menjawab isu di atas, maka ada beberapa hal yang harus digaris bawahi untuk dijawab:

- Pertama: Tidak diragukan lagi bahwa semangat sahabat ‘Atban untuk mendirikan shalat jamaah di rumah adalah ‘salah satu’ sebab, tetapi bukan satu-satunya sebab. Karena kita dapat melihat dengan jelasa bagaimana sahabat ‘Atban sangat menghendaki tabarruk dari tempat shalat Rasul. Dan Nabi pun mengetahui tujuan sahabatnya itu. Atas dasar itu Rasul langsung menanyakan berkaitan dengan tempat yang dikehendaki sahabatnya untuk dijadikan mushalla di rumahnya. Jika isu wahaby di atas itu benar maka selayaknya Nabi shalat di sembarang tempat di rumahnya, mungkin di ruang tamu, ruang tengah, atau di tempat yang terdekat dengan pintu masuk. Dan kenyataannya Nabi menanyakan; “Dimana engkau menginginkan aku melakukan shalat?”. Dengan kata lain, Rasul yang tahu bahwa sahabatnya itu akan mengambil tabarruk dari tempat shalat beliau maka beliau bertanya; dimana aku harus melakukan shalat sehingga tempat shalatku itu nanti akan engkau ambil berkahnya untuk engkau jadikan mushalla.

- Kedua: Pengakuan penulis Wahaby tadi yang mengatakan bahwa tujuan sahabat ‘Atban adalah ingin menentukan arah kiblat tidak memiliki dalil sama sekali, hanya sekedar perkiraan belaka. Dan penggunaan perkiraan-perkiraan semacam ini sudah menjadi kebiasaan dalam cara berargumentasi para pengikut sekte Wahaby. Jika sahabat ‘Atban matanya sudah lemah dan tidak mampu melihat dengan baik termasuk berkaitan dengan arah kiblat, dan tujuan beliau memanggil Rasul hanya untuk itu, maka kenapa beliau tidak bertanya kepada anggota keluarganya atau sesama sahabat Nabi yang lain. Toch pemberian petunjuk oleh sahabat yang lain dalam menentukan arah kiblat merupakan argumen baginya yang dapat dijadikan pedoman.

- Ketiga: Perkiraan penulis Wahaby tadi selain tidak sesuai dengan bukti-bukti (qarinah) yang ada, juga apa yang ia perkirakan dengan apa yang dipahaminya belum tentu lebih baik dari apa yang dipahami oleh pribadi seperti Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitab Syarh Bukharinya. Allamah Ibnu Hajar al-Asqolani berkaitan dengan hadis tadi mengatakan:

a- “Nabi meminta izin karena beliau memang dipanggil untuk melakukan shalat guna memberi berkah kepada pemilik rumah berkaitan dengan tempat shalat beliau. Atas dasar itu Nabi menanyakan kepada sahabat tadi tentang tempat khusus yang ingin diberkahinya” (Fathul Bari jilid 1 halaman 433).

b- “Dalam hadis ‘Atban dan permohonannya kepada Nabi untuk melakukan shalat dalam umahnya, lantas Nabi menyanggupinya untuk melakukan hal itu, sebagai bukti (dalil) akan legalitas tabarruk terhadap peninggalan para manusia saleh” (Fathul Bari jilid 1 halaman 469).

- Keempat: Taruhlah benar –kalau kita mau ‘bertoleransi’ dengan pendapat penulis Wahaby tersebut- apa yang dinyatakan oleh penulis Wahaby (tadi berkaitan dengan hadis Rasul dari sahabat ‘Atban tadi), maka bagaimana menurut para pengikut Wahaby berkaitan dengan banyak riwayat-riwayat lain yang berkaitan dengan para sahabat seperti contoh riwayat berikut ini:

a- Dari Anas bin Malik; Sesungguhnya Ummu Sulaim meminta agar Rasul datang ke rumahnya dan melakukan shalat di rumahnya supaya ia dapat mengambilnya (bekas tempat shalat Rasul) sebagai mushalla. Lantas Rasul pun datang. Dia (Ummu Sulaim) sengaja memerciki tikar dengan air, lantas Rasul melaksanakan shalat di atasnya yang diikuti oleh beberapa sahabat lainnya. (Sunan an-Nasa’i jilid 1halaman 268 kitab masajid, bab 43 as-Sholat alal Hashir hadis 816).

b- Dari Anas bin Malik; Salah seorang pamanku membuat satu makanan, lantas berkata kepada Nabi: “Aku inging engkau datang ke rumahku untuk makan dan shalat”. Dan (Anas) berkata: Lantas beliau datang ke rumah sedang di rumah terdapat batu (hitam). Lantas beliau dipersilahkan ke salah satu sudut yang telah dibersihkan. Kemudian beliau melakukan shalat, lantas kami pun mengikutinya. (Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 249, kitab al-Masajid, bab al-Masjid fi ad-Daur, hadis 756, atau dalam kitab Musnad Ahmad bin Hambal jilid 3 halaman 130 dengan dua sanad, atau dalam kitab Musnad Anas bin Malik hadis 11920)

Riwayat-riwayat semacam ini banyak akan kita dapati dalam buku-buku hadis terkemuka Ahlusunnah. Tentu di sini kita tidak akan menyebutkan hadis-hadis atau bukti sejarah lain (atsar) yang ada, karena di sini hanya sebatas blog.

Lantas kita kembali bertanya kepada pengikut sekte Wahaby; Apakah tujuan Sahabiyah Ummu Sulaim agar kaum muslimin melakukan shalat jamaah di rumahnya bersama Rasul sebagaimana tujuan sahabat ‘Atban yang telah meminta Rasul shalat di rumahnya, untuk menunjukan arah kiblat? Apakah ada tujuan lain yang dapat kita lihat dalam fenomena Ummu Sulaim selain tabarruk (mencari berkah) Rasul? Apakah paman sahabat Anas tadi -yang tentunya pengelihatannya masih kuat- juga bertujuan sama seperti sahabat ‘Atban yang pengelihatannya sudah lemah, untuk mengetahui dan memastikan arah kiblat? Jika tujuan mereka bukan untuk mengambil berkah dari tempat shalat Nabi, apakah tidak cukup sekedar memberitahu (meminta izin) Rasul akan penyebab ketidakhadirannya di masjid untuk melakukan shalat jamaah karena uzur atau ada kepentingan lain diketahui oleh Nabi? Kenapa mereka malah meminta Rasul melakukan shalat di bagian tertentu dari rumahnya sehingga mereka nantinya juga akan shalat di tempat tersebut?

JA-TAK mengisukan:

Jika seseorang tinggal di Makkah, Madinah ataupun Syam untuk mengharap berkah dari Allah dari tempat tersebut, baik dari sisi berkah rizki maupun menghindari fitnah maka ia akan diberi kebaikan yang banyak. Namun jika seseorang melampaui batas dalam bertabarruk dengan cara menyentuh-nyentuh tanah, batu, pohon-pohon yang ada di daerah tersebut atau meletakkan tanahnya di air untuk pengobatan atau semiosalnya maka hal itu akan menyebabkan dosa, bukan pahala. Karena ia telah melakukan tabarruk yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasul dan para generasi pertama Islam. (Lihat: Tabarruk Masyru’ halaman 42).

AS-WA-JA menjawab:

Untuk menjawab isu sekte Wahaby dalam masalah ini, mari kita perhatikan poin-poin di bawah ini:

- Dalam kajian yang lalu telah kita sebutkan bahwa, para sahabat yang tergolong Salaf Saleh telah sering melakukan pengambilan berkah dengan mengusap-usap mimbar Rasul sembari berdoa, sahabat Ibnu Umar mengusap bekas tempat duduk Rasul di atas mimbar kemudian mengusapkan kedua telapak tangannya ke raut mukanya, dan masih banyak lagi, termasuk Rasul telah mengusap-usap kepala dan badan seseorang sembari mendoakannya yang menunjukkan bahwa terdapat kekhususan dalam usapan beliau, karena jika tidak, maka doa Rasul untuk mereka saja sudah cukup, kenapa mesti harus pakai mengusap-usap anggota tubuh seseorang? Lantas apa tujuan Rasul melakukan hal tersebut selain memberikan barakah yang beliau miliki, hasil karunia khusus Ilahi yang diberikan kepada setiap kekasih-Nya? Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam banyak sekali riwayat-riwayat yang ada. Di sini kita akan sebutkan saja sebagai contoh saja:

a- Ummul Mukminin Aisyah pernah menyatakan: “Sesungguhnya Nabi pernah membaca doa perlindungan untuk sebagian keluarganya dengan mengusap tangan kanannya sembari mengucapkan doa: “Ya Allah, Tuhan manusia. Jauhkanlah bencana (darinya). Sembuhkanlah ia, karena Engkau Maha penyembuh. Tiada obat selain dari-Mu. Obat yang tidak menyisakan penyakit...”” (Sahih Bukhari jilid:7 halaman: 172)

b- Dari Abi Hazim mengatakan; aku mendapat kabar dari Sahal bin Sa’ad bahwa Rasulullah saw pada perang Khaibar bersabda: “Akan aku serahkan panji (bendera perang) ini besok kepada seseorang yang Allah akan membuka (pertolongan-Nya) melalui kedua tangan orang tersebut. Dia (orang tadi) adalah seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah besrta Rasul-Nya pun mencintainya”. Ia (perawi) berkata: akhirnya orang-orang begadang untuk menunggu siapakah gerangan yang akan dianugerahkan panji tadi. ketika pagi telah tiba, orang-orang mendatangi untuk mengharap dianugerahi kemuliaan tadi. Perawi berkata: Rasul bersabda: “Dimanakah Ali bin Abi Thalib?”. Dijawab: “Ada wahai Rasul. Ia sedang sakit mata”. Rasul bersabda: “Datangkan dia!”. Lantas didatangkanlah Ali. Kemudian Rasul memberikan ludahnya ke mata Ali sembari mendoakannya. Lantas sembuhlah penyakitnya seakan tidak pernah mengalami sakit. Kemudian Rasul memberikan panji tersebut kepada Ali”. (Sahih Bukhari jilid: 4 Halaman: 30/207, Musnad Imam Ahmad bin Hambal jilid: 5 halaman: 333, as-Sunan al-Kubra karya Nasa’i jilid: 5 halaman: 46/108, Musnad Abi Ya’la jilid: 1 halaman: 291, al-Mu’jam al-Kabir karya Tabrani jilid: 6 halaman: 152 dan kitab Majma’ az-Zawa’id jilid: 6 halaman: 150).

c- As-Samhudi berkata: “Dahulu, jika Rasul dikeluhi oleh seseorang akibat luka atau borok, lantas beliau mengatakan ungkapan tersebut pada jarinya sembari meletakkan jempol (tangan) beliau ke tanah, kemudian mengangkatnya dengan mengungkapkan: “Dengan menyebut nama Allah. Dengan debu tanah kami dan ludah sebagian dari kami akan disembuhkan penyakit kami. Dengan izin Allah”” (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ jilid: 1 halaman: 69. penjelasan semacam ini juga akan kita dapati dalam hadis Sahih Bukhari jilid: 7 halaman: 172 dari Ummul Mukimin Aisyah dengan sedikit perbedaan redaksi)

- Dalam banyak hadis juga disebutkan bahwa tanah Madinah memiliki keberkahan khusus dari Allah untuk kesembuhan penyakit. Itu semua berkat keberadaan Rasul bersama para kekasih Allah lain, baik dari sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan para manusia saleh lainnya. Kita akan melihat beberapa contoh -saja- dari hadis-hadis Rasul tersebut:

a- Rasul bersabda: “Debu Madinah menjadi pengobat dari penyakit sopak” (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 13 halaman 205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1 halaman 67)

b- Rasul bersabda: “Sesungguhnya melalui debunya (Madinah) menjadi penyembuh dari segala penyakit” (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 13 halaman 205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1 halaman 67)

c- Rasul bersabda: “Demi Dzatt Yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya tanahnya (Madinah) adalah pengaman dan penyembuh penyakit sopak”. (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 13 halaman 205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1 halaman 67)

Jika tanah Madinah secara umum memiliki keberkahan semacam itu maka bagaimana dengan tanah di sisi pusara Rasul yang disitu jasad suci Rasulullah –makhluk Allah termulia- dikebumikan? Lantas salahkah (tergolong bid’ah atau syirik) dan tidakkah sesuai dengan ajaran (hadis) Rasul jika ada seseorang yang mengambil tanah Madinah untuk mengambil berkah darinya untuk mengobati penyakitnya, atau sekedar disimpan untuk bertabarruk? Mana yang sesuai dengan ajaran Rasul, orang yang bertabarruk dengan tanah Madinah ataulah yang menyatakan bahwa bahwa tabarruk tanah semacam itu tergolong bid’ah atau syirik, seperti yang diaku oleh kelompok Wahaby? Ini semua menjadi bukti bahwa, Allah telah menganugerahkan beberapa kemuliaan kepada beberapa tempat, yang kemudian disakralkan oleh masyarakat muslim. Madinah beserta tanahnya tergolong tempat yang dimuliakan oleh Allah dengan anugerah khusus semacam itu sehingga disakralkan oleh kaum muslimin melalui lisan suci Rasulullah saw. Jika Nabi sendiri –sebagai makhluk Allah termulia, pembenci Syirik nomer wahid- menjadikan tanah mulia penuh berkah kota Madinah sebagai sarana (wasilah) pengobatan (tabarruk) lantas apakah pengikut beliau dapat divonis bid’ah atau syirik ketika mengikuti ajaran dan saran beliau tadi? Jika tanah Madinah dinyatakan sebagai penuh berkah karena Rasul pernah hidup di sana dan dikebumikan di situ, lantas bagaimana dengan Hajar Aswad, Rukun-rukun (pojok-pojok) yang berada di Ka’bah, Maqam Ibrahim, Hijir Ismail, Shafa dan Marwah, Arafah, Mina, gua Hira’ dan gua Tsur yang semua adalah tempat-tempat sakral dan bersejarah buat Nabi dan orang-orang yang mencintai junjungannya tersebut, apakah ketika bertabarruk dari tempat-tempat semacam itu lantas disebut dengan bid’ah dan syirik, sebagaimana kita lihat perlakukan kelompok sekte Wahaby terhadap kaum muslimin dari pelosok dunia yang menjadi tamu Allah d haramain? Kenapa kaum Wahaby melarang dengan keras orang yang ingin ‘menyentuh’, ‘mengusap’ dan ‘mencium’ hal-hal sakral tadi untuk bertabarruk dengan alasan bid’ah dan syirik, atau alasan karena tidak ada contoh langsung dari Rasul? Sayang, kebodohan kaum Muhammad bin Abdul Wahhab itu selain tidak didasari ilmu yang cukup, juga watak keras kepala dan merasa benar sendiri telah meliputi diri mereka. Kebenaran tidak akan pernah sampai ke hati mereka selama borok-borok di jiwa mereka itu belum tersembuhkan. Hanya dengan menaggalkan jubah wahabismenya borok-borok itu akan tersembuhkan.

JA-TAK mengisukan:

Salaf Saleh telah melarang pengambilan berkah dan penghormatan yang berlebihan terhadap mereka. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Anas, ats-Tsauri, Ahmad dan sebagainya. Imam Ahmad pernah berkata: “Siapa diriku sehingga kalian datang kepadaku? Pergilah dan tulislah hadis!”. Dan sewaktu beliau ditanya tentang sesuatu maka akan menjawab: “Bertanyalah kepada ulama!”. Ketika ditanya tentang penjagaan diri (wara’) beliau mengatakan: “Haram buatku berbicara tentang wara’, jika Bsyar hidup ia akan menjawabnya”. Beliau juga pernah ditanya tentang ikhlas, lantas menjawab: “Pergilah kepada orang-orang zuhud! Kami memiliki apa sehingga kalian datang kepada kami?”. Suatu saat seseorang datang kepadanya dan mengusapkan tangannya ke bajunya dan kemudian mengusapkan kedua tangannya ke wajahnya. Lantas Imam Ahmad marah dan mengingkari hal tersebut dengan keras sembari berkata: “Dari siapa engkau mengambil perkara semacam ini?” (Lihat: Tabarruk Masyru’ halaman 86).

AS-WA-JA menjawab:

Untuk menjawab isu penulis Wahaby di atas, hendaknya kita perhatikan beberapa poin di bawah ini:

- Terbukti bahwa ternyata penulis Wahaby tadi memahami sesuatu berbeda dengan kenyataannya. Apa yang dilakukan para imam mazhab tadi dalam mengingkari tabarruk orang-orang terhadap dirinya bukan berarti pengingkaran mereka terhadap keyakinan tabarruk itu sendiri. Harus dibedakan antara mereka melarang orang bertabarruk kepada dirinya, dengan dari semula menentang keyakinan tabarruk. Sebagaimana yang sudah kita jelaskan bahwa, para imam mazhab itu sendiri telah melakukan tabarruk.

- Dan apa yang disunting oleh penulis Wahaby tadi tidak lain adalah tergolong sikap ‘rendah diri’ (tawadhu’) para imam mazhab tadi, terkhusus berkaitan dengan Imam Ahmad bin Hambal. Dimana kita tahu bahwa ‘tawadhu’’ merupakan salah satu bentuk dan sikap nyata dari setiap ulama yang saleh. Terbukti bahwa Imam Ahmad bin Hambal tidak menvonis orang yang bertabarruk terhadapnya dengan sebutan-sebutan pengkafiran sebagaimana yang dilakukan oleh sekte (Wahabisme) yang konon mengikuti Imam Ahmad bin Hambal dari sisi metode (manhaj) dan pola pikir, serta sepak terjangnya. Itu semua karena para ulama mazhab tahu bahwa tabarruk bukan tergolong prilaku syirik ataupun bid’ah yang harus disikapi tegas dengan bentuk pengkafiran, seperti yang dilakukan sekte Wahaby. Dengan bukti bahwa, mereka sendiri –sebagaimana yang telah kita singgung di urutan artikel tabarruk sebelumnya- telah melakukan tabarruk terhadap para ulama dan manusia saleh yang hidup sezaman atau sebelum mereka. Bahkan sebagian mereka telah bertabarruk terhadap kuburan para ulama dan manusia saleh.

- Kalaulah ungkapan Imam Ahmad tadi tidak diartikan sebagai sikap tawadhu’ beliau, bahkan diartikan sebenarnya, maka ungkapan beliau seperti: “Siapa diriku sehingga kalian datang kepadaku? Pergilah dan tulislah hadis!” atau ungkapan beliau; “Bertanyalah kepada ulama”, meniscayakan bahwa kita (juga kelompok Wahaby) tidak perlu menjadikan Imam Ahmad bin Hambal sebagai rujukan, karena beliau bukan ulama. Namun terbukti kelompok Wahaby pun ‘mengaku’ beliau (konon) sebagai panutannya, lantas mana konsistensi kelompok Wahaby dalam memahami dan melaksanakan ungkapan Imam Ahmad?

Entah dalil mana lagi yang dijadikan argumen oleh para manusia jahil pengikut sekte Wahaby dalam menyatakan kesyirikan dan kebid’ahan prilaku tabarruk? Mereka tidak memiliki argumen apapun berkaitan dengan hadis, riwayat maupun bukti sejarah, apalagi al-Quran yang membuktikan bahwa tabarruk adalah perbuatan bid’ah maupun syirik.

Dari sini jelas sekali bahwa, Allah SWT telah menganugerahkan kesakralan khusus kepada beberapa obyek tertentu dari makhluknya agar manusia menjadikannya sebagai sarana bertabarruk. Dan terbukti bahwa Nabi Muhammad bin Abdillah bukan hanya tidak melarang, bahkan beliau sendiri telah mencontohkan kepada umatnya bagaimana melakukan tabarruk dari obyek-obyek sakral tadi. Dari situ maka janga heran jika lantas kita dapati para sahabat yang tergolong Salaf Saleh pun melakukan ajaran Rasul dalam masalah tabarruk tadi. Dan ajaran itu berjalan dari generasi ke generasi hingga kita sekarang ini. Anehnya, muncul kelompok dari dataran Arab Saudi yang tepatnya di kota Najd –yang dinyatakan oleh Rasul sebagai tempat munculnya sekte Setan penyebar fitnah- yang mengaku sebagai penyebar tauhid, tiba-tiba melarangnya. Melarang bertabarruk dengan bentuk apapun dan terhadap obyek apapun, kecuali hanya sekedar doa. Padahal dakwaan mereka tidak memiliki landasan syariat –baik al-Quran, hadis maupun bukti sejarah- yang kuat.

Walaupun kajian kita secara khusus berkaitan dengan tabarruk, namun dari seri kajian tabarruk inipun kita juga telah bisa menetapkan secara global bahwa, obyek tabarruk dapat kita jumpai pada berbagai bentuk, seperti:

1- Tempat; seperti; Kota Madinah, Arafah, Mina, gua Hira, gua Tsur, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, atau makam-makam orang saleh...dsb.

2- Benda; seperti; Mushaf Al-Quran, semua penginggalan ulama dan manusia saleh...dsb.

3- Orang/pribadi agung; seperti; mengenang manusia-manusia mulia dari para nabi, suhada’, salihin berkaitan dengan zaman kelahiran, wafat atau momen-momen penting dalam sejarah hidup mereka...dsb. Atas dasar itu para pecinta Rasul sering membaca berbagai bentuk salawat dsan puji-pujian untuk Rasul, seperti Maulid Diba’, Barzanji...dsb.

4- Waktu; seperti; waktu-waktu yang disakralkan oleh Allah secara langsung atau yang berkaitan dengan moemen khusus kehdupan manusia kekasih Ilahi. Atas dasar itu kaum muslimin memperingati acara-acara seperti; Maulid Nabi, Isra’ mi’raj, Nuzulul Quran...dsb.

Alhamdulilah telah tuntas kajian tabarruk kita kali ini. Insya-Allah dalam edisi tulisan (cetak) akan kita kaji lebih luas lagi, jika Allah menghendaki.

Wallahu A’lam

Salam Ta’dzim

Sastro Hadi Suripto

Tidak ada komentar: