Senin, 30 Juni 2008

Siapa Bilang Ibnu Taimiyah Ahlusunah? (Bag-III)

Siapa Bilang Ibnu Taimiyah Ahlusunah? (Bag-III)

Pernyataan Resmi Ahlusunnah wal Jama’ah Perihal Kekhalifahan Ali:

Sudah kita lihat, bagaimana Ibnu Taimiyah tidak menyinggung nama Ali dalam masalah kekhalifahan? Dan bagaimana ia berdusta atas nama Imam Syafi’i tanpa memberikan dasar argumen yang jelas? Ibnu Taimiyah bukan hanya mengingkari Ali, tetapi bahkan memberikan kemungkinan kekhalifahan buat Muawiyah. Padahal tidak ada kelompok Ahlusunnah pun yang meragukan kekhalifahan Ali. Berikut ini akan kita perhatikan pernyataan resmi beberapa ulama Ahlussunah perihal pandangan mazhab mereka berkaitan dengan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib:

1. Dari Abbas ad-Dauri, dari Yahya bin Mu’in, ia mengatakan: “Sebaik-baik umat setelah Rasulullah adalah Abu Bakar dan Umar, kemudian Usman, lantas Ali. Ini adalah mazhab kami, juga pendapat para imam kami. Sedang Yahya bin Mu’in berpendapat: Abu Bakar, Umar, Ali dan Usman”.[51]

2. Dari Harun bin Ishaq, dari Yahya bin Mu’in: “Barangsiapa yang menyatakan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali (Radhiyallahu anhum) –dan mengakui Ali sebagai pemilik keutamaan, maka ia adalah pemegang as-Sunnah (Shahib as-Sunnah)…lantas kusebutkan baginya oknum-oknum yang hanya menyatakan Abu Bakar, Umar dan Usman, kemudian ia diam (tanpa menyebut Ali .red), lantas ia mengutuk (oknum tadi) mereka dengan ungkapan yang keras”.[52]

3. Berkata Abu Umar –Ibnu Abdul Bar- perihal seseorang yang berpendapat sebagaimana hadis dari Ibnu Umar: “Dahulu, pada zaman Rasul, kita mengatakan: Abu Bakar, kemudian Umar, lantas Usman, lalu kami diam –tanpa melanjutkannya)”. Itulah yang diingkari oleh Ibnu Mu’in dan mengutuknya dengan ungkapan kasar. Karena yang menyatakan hal itu berarti telah bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh Ahlussunah, baik mereka dari pendahulu (as-Salaf), maupun dari yang datang terakhir (al-Khalaf) dari para ulama fikih dan hadis. Sudah menjadi kesepakatan (Ahlussunah) bahwa Ali adalah paling mulianya manusia, setelah Usman. Namun, mereka berselisih pendapat tentang, siapakah yang lebih utama, Ali atau Usman? Para ulama terdahulu (as-Salaf) juga telah berselisih pendapat tentang keutamaan Ali atas Abu Bakar. Namun, telah menjadi kesepakatan bagi semuanya bahwa, sebagaimana yang telah kita sebutkan, semua itu telah menjadi bukti bahwa hadis Ibnu Umar memiliki kesamaran dan kesalahan, dan tidak bisa diartikan semacam itu, walaupun dari sisi sanadnya dapat dibenarkan”.[53]

Jadi jelaslah bahwa menurut para pemuka Ahlussunah, Ali adalah sahabat terkemuka yang termasuk jajaran tokoh para sahabat yang menjadi salah satu khalifah pasca Rasul. Berbeda halnya dengan apa yang diyakini oleh Ibnu Taimiyah, seorang ulama generasi akhir (khalaf) yang mengaku sebagai penghidup pendapat ulama terdahulu (salaf), namun banyak pendapatnya justru berseberangan dengan pendapat salaf saleh.

Pernyataan Ulama Ahlusunnah Perihal Pandangan Ibnu Taimiyah Tentang Ali:

Apa dan kenapa Ibnu Taimiyah membenci Ali sedemikian rupa? Bukankah membenci Ali baik dengan lisan, tulisan dan prilaku merupakan tanda kemunafikan, sebagaimana yang disinggung oleh beberapa riwayat? Pada bagian kali ini akan kita nukil beberapa pernyataan ulama Ahlusunnah perihal pernyataan Ibnu Taimiyah yang cenderung melecehkan Ali bin Abi Thalib:

1. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam menjelaskan tentang pribadi Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ia terlalu berlebihan dalam menghinakan pendapat rafidhi (Allamah al-Hilli seorang ulama Syiah. red) sehingga terjerumus kedalam penghinaan terhadap pribadi Ali”.[54]

2. Allamah Zahid al-Kautsari mengatakan: “…dari beberapa ungkapannya dapat dengan jelas dilihat kesan-kesan kebencian terhadap Ali”.[55]

3. Syeikh Abdullah Ghumari pernah menyatakan: “Para ulama yang sezaman dengannya menyebutnya (Ibnu Taimiyah) sebagai seorang yang munafik dikarenakan penyimpangannya atas pribadi Ali”.[56]

4. Syeikh Abdullah al-Habsyi berkata: “Ibnu Taimiyah sering melecehkan Ali bin Abi Thalib dengan mengatakan: Peperangan yang sering dilakukannya (Ali) sangat merugikan kaum muslimin”.[57]

5. Hasan bin Farhan al-Maliki menyatakan: “Dalam diri Ibnu Taimiyah terdapat jiwa ¬nashibi (membenci keluarga Nabi .red) dan permusuhan terhadap Ali”.[58]

6. Hasan bin Ali as-Saqqaf berkata: “Ibnu Taimiyah adalah seorang yang disebut oleh beberapa kalangan sebagai ‘syeikh Islam’, dan segala ungkapannya dijadikan argumen oleh kelompok tersebut (Salafy). Padahal, ia adalah seorang nashibi yang memusuhi Ali dan menyatakan bahwa Fathimah (puteri Rasulullah. red) adalah seorang munafik”.[59]

Dan masih banyak lagi ungkapan ulama Ahlusunnah lain yang menyesalkan atas prilaku pribadi yang terlanjur terkenal dengan sebutan ‘syeikh Islam’ itu. Untuk mempersingkat pembahasan, dalam makalah ini kita cukupkan beberapa ungkapan mereka saja. Namun di sini juga akan dinukil pengakuan salah seorang ahli hadis dari kalangan wahabi (pengikut Ibnu Taimiyah sendiri .red) sendiri dalam mengungkapkan kebingungannya atas prilaku imamnya (Ibnu Taimiyah) yang meragukan beberapa hadis keutamaan Ali bin Abi Thalib. Ahli hadis tersebut bernama Nashiruddin al-Bani. Tentu semua pengikut Salafy (Wahabi) mengenal siapa dia. Seusai ia menganalisa hadis al-wilayah[60] (kepemimpinan) yang berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib, lantas ia mengatakan: “Anehnya, bagaimana mungkin syeikh Islam Ibnu Taimiyah mengingkari hadis ini, sebagaimana yang telah dia lakukan pada hadis-hadis sebelumnya (tentang Ali), padahal ia memiliki berbagai sanad yang sahih. Hal ini ia lakukan, tidak lain karena kebencian yang berlebihan terhadap kelompok Syiah”.[61] Jadi jelaslah, kebencian yang mendalam terhadap kelompok Islam Syiah-lah yang menyebabkan kebutaan hati Ibnu Taimiyah dalam melihat kebenaran Ali bin Abi Thalib. Dan terbukti, kitab “Minhaj as-Sunnah” ini khusus dikarang oleh Ibnu Taimiyah dalam menjawab buku karya seorang ulama Syiah yang berjudul “Minhaj al-Karamah” karya al-Hilli, yang di dalamnya membahas tentang beberapa keutamaan keluarga Rasul, termasuk Ali bin Abi Thalib.

Dari sini jelas bahwa akibat kebencian terhadap satu kelompok secara berlebihan menyebabkan Ibnu Taimiyah terjerumus ke dalam lembah kemungkaran dan kesesatan, sehingga menyebabkan ia telah menyimpang dari ajaran para salaf saleh yang selalu diakuinya sebagai pondasi ajarannya. Bukankah orang yang disebut ‘syeikh Islam’ itu mesti telah membaca hadis yang tercantum dalam Shahih Muslim –kitab yang diakuinya sebagai paling shahihnya kitab- yang menyatakan: “Aku bersumpah atas Dzat Yang menumbuhkan biji-bijian dan Pencipta semesta, Rasul telah berjanji kepadaku (Ali); Tiada yang mencintaiku melainkan seorang mukmin, dan tiada yang membenciku melainkan orang munafik”.[62] Sedang dalam hadis lain, diriwayatkan dari ummulmukminin Ummu Salamah: “Seorang munafik tiada akan mencintai Ali, dan seorang mukmin tiada akan pernah memusuhinya”.[63] Dan dari Abu Said al-Khudri yang mengatakan: “Kami dari kaum Anshar dapat mengenali para munafik melalui kebencian mereka terhadap Ali”.[64]

Jika sebagian ulama Ahlusunnah telah menyatakan, akibat kebencian Ibnu Taimiyah terhadap Ali dengan ungkapan-ungkapannya yang cenderung melecehkan sahabat besar tersebut sehingga ia disebut nashibi, lantas jika dikaitkan dengan tiga hadis di atas tadi yang menyatakan bahwa kebencian terhadap Ali adalah bukti kemunafikan, maka apakah layak bagi seorang munafik yang nashibi digelari ‘Syeikh al-Islam’? Ataukah pribadi semacam itu justru lebih layak jika disebut sebagai ‘Syeikh al-Munafikin’ atau ‘Syeikh an-Nawashib’? Jawabnya, tergantung pada cara kita dalam mengambil benang merah dari konsekuensi antara ungkapan beberapa ulama Ahlusunnah dan beberapa hadis sahih yang telah disebutkan di atas tadi.

Dari sini jelaslah, bahwa para ulama Salaf maupun Khalaf -dari Ahlussunah wal Jamaah- telah mengakui keutamaan Ali, dan mengakui kekhalifahannya. Lantas dari manakah manusia semacam Ibnu Taimiyah yang mengaku sebagai penghidup mazhab salaf saleh namun tidak menyinggung-nyinggung kekhalifahan Ali, bahkan berusaha menghapus Ali dari jajaran kekhilafahan Rasul? Masih layakkah manusia seperti Ibnu Taimiyah dinyatakan sebagai pengikut Ahlusunnah wal Jama’ah, sementara pendapatnya banyak bertentangan dengan kesepakatan ulama salaf maupun khalaf dari Ahlussunah wal Jamaah? Ataukah dia hanya mengaku dan membajak nama besar salaf saleh? Tegasnya, pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah tadi justru lebih layak untuk mewakili kelompok salaf yang dinyatakan oleh kaum muslimin sebagai ‘Salaf Thaleh’ (lawan dari kata ‘Salaf Saleh’), seperti Yazid bin Muawiyah beserta gerombolannya, gerombolan fasik yang suka melanggar hokum-hukum Allah seperti Zina, minum Khamr, judi dan membunuh kaum muslimin yang tak berdosa.

Tetapi anehnya, para pengikut Ibnu Taimiyah yang juga ikut-ikutan mengatasnamakan dirinya “penghidup ajaran Salaf” (Salafy/Wahaby), masih terus bersikeras untuk diakui sebagai pengikut Ahlussunah, padahal di sisi lain, mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran dan doktrin Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan (konsensus) ulama Ahlussunah beserta "ajaran resmi" Ahlussunah wal Jamaah. Lantas, apakah pengikut fanatik Ibnu Taimiyah yang sekarang ini mengatasnamakan diri sebagai Salafy akan menuduh Ahlusunah sebagai Syiah, hanya karena mencintai Ali? Apakah kecintaan kepada Ali adalah dominasi kaum Islam Syiah? Buktikan bahwa kalian (wahai Salafy) sebagai penghidup Salaf Saleh dengan tidak meniru sepak terjang Syeikh kalian itu dengan membenci Ali. Tetapi cintailah Ali, sebagai Sahabat, Khalifah Rasul dan sebagai Salaf Saleh yang harus diikuti. Terlampau banyak sunah Nabi yang menjelaskan akan keharusan mengikuti Ali.

--------------------------------

Rujukan:

[51] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213

[52] Ibid

[53] Ibid Jil:3 Hal:214

[54] Lisan al-Mizan Jil:6 Hal:319-320

[55] Al-Hawi fi Sirah at-Thahawi Hal:26

[56] Ar-Rasail al-Ghomariyah Hal:120-121

[57] Al-Maqolaat as-Saniyah Hal:200

[58] Dinukil dari kitab Nahwa Inqod at-Tarikh al-Islami karya Sulaiman bin Shaleh al-Khurasyi hal:35

[59] At-Tanbih wa ar-Rad Hal:7

[60] Hadis yang mengatakan: Ali waliyu kulli mukmin min ba’dy (Ali adalah pemimpin setiap mukmin setelahku)

[61] Silsilah al-Ahadis as-Shohihah, Hadis no: 2223

[62] Shohih Muslim Jil:1 Hal:120 Hadis ke-131 Kitab: al-Iman, atau Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:601 Hadis ke-3736, dan atau Sunan Ibnu Majah Jil:1 Hal:42 Hadis ke-114

[63] Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:594 Hadis ke-3717

[64] Ibid Hal:593

Tidak ada komentar: