Senin, 30 Juni 2008

Siapa Bilang Ibnu Taimiyah Ahlusunah? (Bag-II)

Siapa Bilang Ibnu Taimiyah Ahlusunah? (Bag-II)

Jelas bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah dengan mengatasnamakan salaf saleh tidaklah memiliki dasar sedikitpun, apalagi jika ia mengatasnamakan para imam mazhab Ahlusunnah. Lantas, bagaimana mungkin pribadi seperti Ibnu Taimiyah dapat mewakili pemikiran Ahlusunnah, padahal begitu banyak pandangan ulama Ahlusunnah sediri yang secara jelas bertentangan dengan pendapat Ibnu Taimiyah? Lebih-lebih pendapat Ibnu Taimiyah tadi hanya sebatas pengakuan saja, tanpa memberikan argumen maupun rujukan yang jelas, baik yang berkaitan dengan hadis (Rasul saw), maupun ungkapan para salaf saleh (dari sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in) termasuk nukilan pendapat para imam mazhab empat secara cermat, apalagi bukti ayat al-Quran.

Yang lebih parah lagi, setelah ia meragukan semua keutamaan Ali bin Abi Thalib, dari seluruh ungkapannya tersebut, akhirnya ia pun meragukan Ali sebagai khalifah. Hal itu merupakan konsekuensi dari semua pernyataan yang pernah ia lontarkan sebelumnya. Mengingat, dalam banyak kesempatan Ibnu Taimiyah selalu meragukan kemampuan Ali dalam memimpin umat. Oleh karenanya, dalam banyak kesempatan pula ia menyebarkan keragu-keraguan atas kekhilafan Ali. Tentu saja, metode yang dipakainya dalam masalah inipun sama sebagaimana yang ia terapkan sebelumnya -seperti yang telah disinggung di atas, yaitu; dengan cara menukil beberapa pendapat yang sangat tidak mendasar, dan tidak jujur sembari mengajukan pendapat pribadinya sebagai pendapat tokoh-tokoh salaf saleh.

Berikut ini adalah beberapa contoh dari ungkapan Ibnu Taimiyah dalam masalah tersebut:

1. “Diriwayatkan dari Syafi’i dan pribadi-pribadi selainnya, bahwa khalifah ada tiga; Abu Bakar, Umar dan Usman”.[32]

2. “Manusia telah bingung dalam masalah kekhilafan Ali (karena itu mereka berpecah atas) beberapa pendapat; Sebagian berpendapat bahwa ia (Ali) bukanlah imam, akan tetapi Muawiyah-lah yang menjadi imam. Sebagian lagi menyatakan, bahwa pada zaman itu tidak terdapat imam secara umum, bahkan zaman itu masuk kategori masa (zaman) fitnah”.[33]

3. “Dari mereka terdapat orang-orang yang diam (tidak mengakui) atas (kekhalifahan) Ali, dan tidak mengakuinya sebagai khalifah keempat. Hal itu dikarenakan umat tidak memberikan kesepakatan atasnya. Sedang di Andalus, banyak dari golongan Bani Umayyah yang mengatakan: Tidak ada khalifah. Sesungguhnya khalifah adalah yang mendapat kesepakatan (konsensus) umat manusia. Sedang mereka tidak memberi kesepakatan atas Ali. Sebagian lagi dari mereka menyatakan Muawiyah sebagai khalifah keempat dalam khutbah-khutbah jum’atnya. Jadi, selain mereka menyebutkan ketiga khalifah itu, mereka juga menyebut Muawiyah sebagai (khalifah) keempat, dan tidak menyebut Ali”.[34]

4. “Kita mengetahui bahwa sewaktu Ali memimpin, banyak dari umat manusia yang lebih memilih kepemimpinan Muawiyah, atau kepemimpinan selain keduanya (Ali dan Muawiyah)…maka mayoritas (umat) tidak sepakat dalam ketaatan”.[35]

Jelas sekali di sini bahwa Ibnu Taimiyah selain ia berusaha menyebarkan karaguan atas kekhalifah Ali bin Abi Thalib kepada segenap umat, ia pun menjadi corong dalam menyebarkan kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sedang hal itu jelas-jelas bertentangan dengan akidah Ahlusunnah wal Jama’ah.

Untuk menjawab pernyataan-pernyataan Ibnu Taimiyah di atas tadi, mari kita simak beberapa pernyataan pembesar ulama Ahlusunnah tentang kekhilafahan Ali bin Abi Thalib, dan ungkapan mereka perihal Muawiyah bin Abu Sufyan, termasuk yang bersumber dari kitab-kitab karya imam Ahmad bin Hambal yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dalam pola pikir dan metode (manhaj)-nya.

1. Dinukil dari imam Ahmad bin Hambal: “Barangsiapa yang tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, maka jangan kalian ajak bicara, dan jangan adakan tali pernikahan dengannya”.[36]

2. Dikatakan bahwa imam Ahmad bin Hambal pernah mengatakan: “Barangsiapa yang tidak menetapkan imamah (kepemimpinan) Ali, maka ia lebih sesat dari Keledai. Adakah Ali dalam menegakkan hukum, mengumpulkan sedekah dan membagikannya tanpa didasari hak? Aku berlindung kepada Allah dari ungkapan semacam ini…akan tetapi ia (Ali) adalah khalifah yang diridhai oleh para sahabat Rasul. Mereka melaksanakan shalat dibelakangnya. Mereka berperang bersamanya. Mereka berjihad dan berhaji bersamanya. Mereka menyebutnya sebagai amirulmukminin. Mereka ridha dan tiada mengingkarinya. Maka kami pun mengikuti mereka”.[37]

3. Dalam kesempatan lain, sewaktu putera imam Ahmad bin Hambal menanyakan kepada ayahnya perihal beberapa orang yang mengingkari kekhalifahan Ali, beliau (imam Ahmad) berkata: “Itu merupakan ungkapan buruk yang hina”[38].

4. Dari Abi Qais al-Audi yang berkata: “Aku melihat umat manusia di mana mereka terdapat tiga tahapan; Para pemilik agama, mereka mencintai Ali. Sedang para pemilik dunia, mereka mencintai Muawiyah, dan Khawarij”.[39]

Adapun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan keutamaan Ali terlampau banyak untuk disampaikan di sini. Untuk mempersingkat pembahasan, kita nukil beberapa contoh riwayat yang khusus berkaitan dengan keilmuan dan kekhilafan Ali dari kitab-kitab standar Ahlusunnah wal Jamaah:

1. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi dijelaskan dari Hayyan al-Asadi; aku mendengar Ali berkata: Rasul bersabda kepadaku: “Sesungguhnya umat akan meninggalkanmu setelahku (sepeninggalku), sedang engkau hidup di atas ajaranku. Engkau akan terbunuh karena (membela) sunahku. Barangsiapa yang mencintaimu, maka ia telah mencintaiku. Dan barangsiapa yang memusuhimu, maka ia telah memusuhiku. Dan ini akan terwarnai hingga ini (yaitu janggut dari kepalanya)”.[40]

2. Dalam Shahih at-Turmudzi yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id, ia berkata: “Kami (kaum Anshar) tiada mengetahui orang-orang munafik kecuali melalui kebencian mereka terhadap Ali bin Abi Thalib”.[41]

3. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam yang menyebutkan; Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menginginkan hidup sebagaimana kehidupanku, dan mati sebagaimana kematianku, dan menempati sorga yang kekal yang telah dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku, maka hendaknya ia menjadikan Ali sebagai wali (pemimpin/kecintaan). Karena ia tiada akan pernah mengeluarkan kalian dari petunjuk, dan tiada akan menjerumuskan kalian kepada kesesatan”.[42]

4. Dalam kitab Tarikh al-Baghdadi diriwaytkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Di malam sewaktu aku mi’raj ke langit, aku melihat di pintu sorga tertulis: Tiada tuhan melainkan Allah, Muhammad Rasul Allah, Ali kecintaan Allah, al-Hasan dan al-Husein pilihan Allah, Fathimah pujian Allah, atas pembenci mereka laknat Allah”.[43]

5. Juga dalam kitab Tarikh al-Baghdadi disebutkan sebuah hadis tentang penjelmaan Iblis untuk menggoda Rasul beserta para sahabat sewaktu bertawaf di Ka’bah. Setelah Iblis itu sirna, Rasul bersabda kepada Ali: “Apa yang aku dan engkau miliki wahai putera Abu Thalib. Demi Allah, tiada seseorang yang membencimu kecuali ia (Iblis) telah campur tangan dalam pembentukannya (melalui sperma ayahnya .red).” Lantas Rasul membacakan ayat (64 dari surat al-Isra’): “Wa Syarikhum fil Amwal wal Awlad” (Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak)”.[44]

6. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Aku adalah kota hikmah, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki hikmah hendaknya melalui pintunya”.[45] Dalam riwayat lain disebutkan: “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki ilmu hendaknya melalui pintunya”.[46]

7. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari al-Hasan dari Anas bin Malik, ia berkata; Nabi bersabda kepada Ali: “Engkau (Ali) penjelas (atas permasalahan) yang menjadi perselisihan di antara umatku setelahku”.[47]

8. Dalam kitab as-Showa’iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar disebutkan, sewaktu Rasul sakit lantas beliau mewasiatkan kepada para sahabatnya, seraya bersabda: “Aku meninggalkan kepada kalian Kitab Allah (al-Quran) dan Itrah (keturunan)-ku dari Ahlul Baitku”. Kemudian beliau mengangkat tangan Ali seraya bersabda: “Inilah Ali bersama al-Quran, dan al-Quran bersama Ali. Keduanya tiada akan berpisah sehingga pertemuanku di al-Haudh (akherat) kelak, maka carilah kedua hal tersebut sebagaimana aku telah meninggalkannya”.[48] Dalam hadis lain disebutkan: “Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali. Keduanya tiada akan pernah berpisah hingga pertemuanku di Haudh kelak di akherat”.[49]

9. Dalam kitab Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir disebutkan, diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata; Rasul memerintahkan kami untuk memerangi kelompok Nakitsin (Jamal), Qosithin (Shiffin) dan Mariqin (Nahrawan). Lantas kami berkata: “Wahai Rasulullah, engkau memerintahkan kami memerangi mereka, lantas bersama siapakah kami?”, beliau bersabda: “Bersama Ali bin Abi Thalib, bersamanya akan terbunuh (pula) Ammar bin Yasir”.[50]

Bersambung….

------------------------------------

Rujukan:

[32] Minhaj as-Sunnah Jil:2 Hal:404


[33] Ibid Jil:1 Hal:537


[34] Ibid Jil:6 Hal:419


[35] Ibid Jil:4 Hal:682


[36] Thobaqoot al-Hanabilah Jil:1 Hal:45


[37] Aimmah al-Fiqh at-Tis’ah Hal:8


[38] As-Sunnatu Halal Hal:235


[39] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213


[40] Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:142. Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain semisal; Tarikh al-Baghdadi Jil:13 Hal:32, Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:383, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:131, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:213, dsb.


[41] Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:299. Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Shahih Muslim kitab al-Iman, Shahih an-Nasa’I Jil:2 Hal:271, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:84, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:129, Tarikh al-Baghdadi Jil:3 Hal:153, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:133, dsb.
[42] Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:128. Hadis semacam ini –walau dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:23 atau Jil:6 Hal:101, al-Ishabah karya Ibnu Hajar Jil:3 Bagian ke-1 Hal:20, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:215, Tarikh al-Baghdadi Jil:4 Hal:102, dsb.

[43] Tarikh al-Baghdadi Jil:1 Hal:259.

[44] Ibid Jil:3 Hal:289-290

[45] Mustadrak as-Shahihain Jil:11 Hal:204. Hadis yang sama dengan sedikit perbedaan redaksi juga dapat ditemukan dalam Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:229.

[46] Ibid Jil:3 Hal:128. Hadis yang sama dapat juga ditemukan dalam kitab lain semacam; as-Showa’iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar Hal:73, Tarikh al-Baghdadi Jil:2 Hal:377, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:193, Kunuz al-Haqa’iq karya al-Manawi Hal:43, dsb.

[47] Ibdi Jil:3 Hal:122. Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab Hilliyat al-Auliya’ karya Abu Na’im Jil:1 Hal:63.

[48] As-Showa’iq al-Muhriqoh Hal:75. Hadis semacam ini dapat pula dilihat dalam kitab-kitab semisal Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:124, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:134, dsb.

[49] Tarikh al-Baghdadi Jil:14 Hal:321. Hadis serupa juga dapat dijumpai dalam kitab Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:298, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:119, Majma’ az-Zawa’id Jil:7 Hal:235, Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi Jil:6 Hal:157, dsb dengan sedikit perbedaan redaksi.

[50] Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:32-33. Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain seperti; Mustadrak as-Shahihain Jil:4 Hal:139, Tarikh Baghdadi Jil:8 Hal:340 atau Jil:13 Hal:186, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:235, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat 41 dari surat az-Zukhruf, dsb.

Barsambung

Tidak ada komentar: